SELAMAT BERKUNJUNG DI BLOG "ANTHROPOS"........

Rabu, 06 Oktober 2010

EPIDEMIOLOGI-3

KONSEP-KONSEP DALAM EPIDEMIOLOGI

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosial- budaya.

Dalam UU No.23 tahun 1992 dinyatakan bahwa ”kesehatan” atau ”sehat” adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini, kesehatan dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral. Sementara itu ”sakit” didefinisikan sebagai keadaan yang dialami oleh seseorang apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit.

Masalah Sehat dan Sakit

Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan pengaruh dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan pengaruh dari empat faktor, yaitu:

1. Environment atau lingkungan.

2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance.

3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.

4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah atunya kelas/status sosial.

Paradigma Sehat

Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan (pencegahan penyakit) daripada mengobati penyakit.

Pengertian tentang penyakit memiliki konotasi biomedik dan sosio kultural, perbedaan suku bangsa dan budaya. Oleh krena itu, ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut yang dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.

Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas-dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.

Dalam Antropologi Kesehatan dikenal istilah disease dan illness yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio-kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut.

- Disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu.

- Illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman.

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease (penyakit), sedangkan yang dialami oleh pasien adalah illness (sakit). Gangguan yang menyebabkan disease-illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh. Di sini akan dijelaskan pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia, khususnya pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit.

Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan atau suku bangsa tertentu, belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Antropologi Kesehatan dikenal istilah disease dan illness yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio-kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut.

- Disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu.

- Illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman.

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease (penyakit), sedangkan yang dialami oleh pasien adalah illness (sakit). Gangguan yang menyebabkan disease-illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh. Di sini akan dijelaskan pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia, khususnya pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit.

Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan atau suku bangsa tertentu, belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Konsep Sehat-Sakit menurut Budaya Masyarakat

Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek.

Definisi WHO (1981): Health is astate of complete physical, mental and social wellbeing, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya? Oleh para ahli kesehatan, Antropologi Kesehatan dipandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.

Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya, mengingat penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: naturalistik dan personalistik.

Naturalistik dan Personalistik

Penyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (’salah’ makan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan ’panas-dingin’ seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (dukun) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan bergairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.

Sedangkan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung, dan lain-lain). Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Dapat diambil contoh kasus penyakit kusta yang dikenl oleh masyarakat Makasar, Sulawesi Selatan. Mereka mengistilahkannya dengan kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Kasus lainnya juga tentang penyakit Kusta tetapi yang terjadi pada masyarakat Soppeng, Sulawesi Selatan. Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai-nilai budaya masyarakatnya, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala) bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat.

Pada Penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), para orang tua dan keluarga luas sangat menolak anaknya didiagnosa kusta. Mengapa demikian? Sebab bagi masyarakat Kalimantan Timur, anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mual, diare.

Sedangkan bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat, ciri-ciri anak dikatakan sakit apabila dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak. Salah seorang informan dalam penelitian tersebut yang berprofesi sebagai pengobat tradisional (yang juga menerima pandangan kedokteran modern), mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sakit badaniah, terdapat tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu. Sedangkan penyakit batiniah tidak dapat dideteksi dari ciri-ciri yang diderita oleh badan secara fisik, tetapi bisa dengan menanyakan pada yang gaib. Adapun pemahaman sehat bagi informan tersebut adalah dengan iri-ciri: gerakan lincah, kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan.

Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak ada nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong kering" (tidak memiliki uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu :

1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia

2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.

3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut :

a. Sakit demam dan panas.

Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau dengan obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.

b. Sakit mencret (diare).

Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain-lain.

c. Sakit kejang-kejang

Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.

d. Sakit tampek (campak)

Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membaluri anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaan setempat dapat mengisap penyakit tersebut.

Kejadian Penyakit

Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari segi biologis, penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional dan psikososial individu yang bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan.

Konsep kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan tergantung dari jenis penyakitnya. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya. Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku penyakitnya, mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978). Dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan (1994), berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut:

”Seorang perempuan yang sudah telah cukup lama mengidap reumatik, penyakitnya diobati hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja, dan ia percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien tersebut, penyakitnya disebabkan karena "darah kotor" oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih' (ditambah vitamin seperlunya agar tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam masyarakat”.

Perilaku Sehat dan Perilaku Sakit

Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para Antropolog seperti perilaku sehat (health behavior), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pandang pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.

Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi.

Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat secara medis, belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit, maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping unsur sosial-budaya. Dalam hal ini petugas medis juga sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik individu.

Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat. Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.

EPIDEMIOLOGI-2

FAKTOR-FAKTOR BUDAYA DALAM EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi adalah studi tentang persebaran dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berbagai jenis penyakit dalam kehidupan manusia. Fokusnya tidak hanya pada penyakit individual, tapi juga pada kelompok masyarakat yang menyangkut tentang kesehatan dan penyakit. Ketika meneliti suatu penyakit tertentu (misalnya kanker paru-paru) para ahli epidemiologi mencoba menghubungkan kejadian-kejadian dan persebaran pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi pasien (seperti kebiasaan merokok) untuk menemukan kemungkinan penyebab penyakit tersebut. Faktor-faktor yang umumnya berpengaruh adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, kesempatan kerja, keadaan sosial-ekonomi, makanan, lingkungan (baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial), dan perilaku-perilaku si penderita. Dengan tujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan berbagai faktor tersebut dengan perkembangan suatu penyakit.

Epidemiologi menggunakan metode survei yang terbagi atas dua pendekatan, dan suatu pendekatan lainnya yang menggabungkan kedua pendekatan tersebut. Pertama, metode pengawasan kasus (case control), metode ini menguji sebuah sampel populasi yang menderita suatu penyakit tertentu dan membandingkannya dengan masyarakat lainnya yang tidak menderita penyakit tersebut. Dari sini akan ditemukan suatu uji statistik yang menghubungkan antara faktor-kator yang menentukan dan kejadian suatu penyakit. Misalnya kebasaan merokok dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi timbulnya kanker paru-paru. Kedua, metode kelompok (cohort study), pendekatan ini memulai surveinya pada populasi yang sehat (dalam artian tidak sedang mewabah suatu penyakit), beberapa dari anggota populasi itu dihubungkan dengan hipotesa risiko-risiko tertentu, misalnya merokok, kemudian mengikuti perkembangannya selama beberapa waktu, hingga ditemukan suatu penyakit-penyakit tertentu yang terjadi pada populasi itu.

Pada tataran individual, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh suatu risiko tertentu (misalnya kebiasaan merokok tadi) menjangkau pada populasi yang terbatas. Jadi tidak selamanya perokok mengidap penyakit jantung, atau tidak selalu imigran (kaum pendatang yang tidak dapat menyesuaikan diri) mengalami depresi. Untuk memahami mengapa individu tertentu mengalami suatu penyakit-penyakit tertentu pada waktu-waktu tertentu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya seperti: faktor genetika, kondisi fisik, psikologis, dan sosial-budaya, bagaimana keterkaitan antarfaktor tersebut juga perlu menjadi bahan pertimbangan. Penjelasan multi-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap suatu penyakit tertentu tetapi tidak berlaku terhadap penyakit lainya.

Kebudayaan dan Identifikasi Penyakit

Latar belakang kebudayaan yang bervariasi dari berbagai negara di dunia ini, mengakibatkan berbeda pula data epidemiologis yang diperoleh para peneliti. Hal ini terjadi disebabkan karena pengidentifikasian terhadap ’peristiwa’ suatu penyakit berbeda-beda di tiap-tiap negara. Seperti yang pernah diteliti oleh Fletcher dkk. bahwa penyakit ’bronkhitis kronis’ di Inggris dan penyakit ’ampisema’ di Amerika Utara. Terdapat gejala dan tand-tanda yang sama antara kedua penyakit tersebut. Tetapi mereka mendefinisikannya dengan istilah yang berbeda. Studi lainnya oleh ahli psikiatri yang mendiagnosa penyakit ’schizophrenia’ yang berbeda di Inggris dengan Amerika.

Zola menekankan bahwa adanya pendefinisian yang berbeda antarnegara tersebut terjadi dipengaruhi oleh dua faktor, yakni: (1) peristiwa aktual/nyata yang terjadi dari penyakit tersebut dan (2) kesepakatan terhadap peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang ’tidak normal’ (baik oleh pasien maupun oleh dokter). Perbedaan pemahaman penyakit tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara berbeda tetapi juga pada aspek budaya lainnya, antara lain pemahaman penyakit yang berbeda antara kalangan atas dengan kalangan bawah.

Faktor-faktor Budaya dalam Epidemiologi

Dalam studi Epidemiologi, terutama yang berkaitan dengan Antropologi Kesehatan dikenal adanya 23 point penting faktor-faktor budaya yang dapat berpengaruh memunculkan suatu penyakit, atau mempengaruhi kualitas kesehatan seseorang atau sekelompok orang. 23 poit tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain (Helman, 1984:185).

Untuk lebih jelasnya mengenai faktor-faktor budaya dalam epidemiologi diuraikan sebagai berikut:

1. Family structure (Struktur keluarga)

Berhubungan dengan masalah interaksi dengan anggota keluarga lainnya, baik keluarga inti maupun keluarga luas. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, jika salah seorang dalam anggota keluarga tersebut memiliki suatu penyakit (menular, misalnya: TBC) maka interaksi yang berulang-ulang dengan anggota keluarga lainnya dapat menyebabkan anggota keluarga yang lain akan tertular. Begitu pula dengan interaksi dengan anggota keluarga luas. Bagaimana bentuk interaksi dengan anggota keluarga yang lebih luas (paman-tante, kakek-nenek, sepupu, kemanakan, cucu, dst.) salah satunya dalam hal perawatan anak, pendidikan anak, penyiapan makanan, pakaian, dan keperluar lainnya. Pemilihan lembaga pengobatan di saat anggota keluarga sedang sakit, bagaimana perawatan terhadap si sakit. Kesemuanya ini berpengaruh terhadap munculnya suatu penyakit.

2. Gender roles (Kesetaraan gender)

Masyarakat kita yang masih primordial (masih memegang adat/tradisi leluhur) terkadang masih menerapkan pembagian status dan peran antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya dalam hal pembagian pekerjaan, laki-laki dituntut untuk mencari nafkah sedangkan perempuan ditugaskan untuk menjaga dan merawat anak-anak di rumah. Laki-laki dibebankan dengan pekerjaan yang berat, sementara perempuan diberikan tugas yang cukup ringan. Resiko penyakit terhadap kedua jenis kelamin ini berbeda, demikian pula dengan resiko penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh beban kerja yang berbeda. Misalnya: wanita yang selain berberan sebagai wanita karir juga sebagai ibu rumah tangga, kemungkinan beban kerja dan pikiran yang diembannya lebih banyak, hingga waktu istirahat berkurang, mudah lelah, dan mudah terkena anemia.

3. Marriage patterns (Sistem kekerabatan)

Sistem kekerabatan yang dimaksudkan di sini adalah endogami (perkawinan dalam keluarga) atau eksogai (perkawinan di luar keluarga). Sistem kekerabatan berpengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit. Di mana ada penyakit-penyakit tertentu yang diwariskan melalui gen. Perkawinan dengan anggota kerabat dekat dapat mempermudah penyebaran gen tersebut, berbeda apabila memilih pasangan dari keluarga lain, kemungkinan resikonya terkena penyakit keturunan akan lebih sedikit. Kecuali apabila, dari keluarga lain pun mengidap penyakit keturunan tertentu. Perkawinan dengan kerabat dekat (sedarah) juga dapat melahirkan keturunan yang memiliki kelainan tertentu, atau penyakit-penyakit tertentu, seperti: keturunan yang cacat atau idiot, karena berasal dari keturunan yang masih sedarah.

4. Sexual behaviour (Perilaku seksual)

Perilaku seksual berkaitan dengan bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya akan reproduksi. Pada masyarakat Indonesia, hubungan seksual dianggap bisa lakukan hanya pada pasangan yang telah resmi menikah. Tetapi di negara-negara Eropa dan Amerika hubungan seksual permisif dilakukan bagi pasangan kencan, tunangan, meskipun belum resmi menikah. Di Indonesia seks bebas tidak berlakukan, karena seks bebas dapat menimbulkan pengaruh negatif, seperti: penularan HIV/AIDS, aborsi, dan pernikahan dini. Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika yang terjadi justru sebaliknya, mereka cenderung permisif terhadap seks bebas. Karena itu penularan HIV/AIDS di negara-negara tersebut sangat sulit untuk dicegah.

5. Contraceptive Patterns (Penggunaan alat-alat kontrasepsi)

Pemilihan alat kontrasepsi pada pasangan-pasangan tertentu, apakah menggunakan PIL KB, IUD, spiral, kondom, dll. berpengaruh besar terhadap kesehatan si pengguna alat kontrasepsi. Alat alat tertentu cocok bagi seseorang, tetapi belum tentu cocok bagi orang lain. Karena itu terkadang ketika seorang ibu telah memakai spiral misalnya, tetapi justru hamil di luar kandungan, atau telah meminum pil, tetapi tetap saja hamil, maka kemungkinan si ibu tidak cocok dengan kontrasepsi tersebut. Penggunaan alat kontrasepsi juga perlu dipertimbangkan efek samping yang akan ditimbulkan, yang tentu saja akan berpengaruh bagi kesehatan si pengguna alat kontrasepsi.

Kondom yang awalnya sebagai pencegah kehamilan bagi pasangan suami-istri (pasutri), kini telah banyak dipasarkan secara meluas. Karena itu kondom tidak hanya digunakan oleh pasutri tetapi juga oleh pasangan kencan, bahkan sekarang ini banyak digunakan juga oleh remaja yang melakukan seks bebas. Terkadang kondom juga tidak berhasil dalam mencegah kehamilan. Apabila kehamilan tetap terjadi, biasanya pasangan kencan lebih memilih untuk aborsi terutama pada kaum remaja.

6. Population policy (Kebijakan kependudukan)

Adanya pendapat masyarakat awam bahwa ”banyak banyak rezeki” menjadikan program KB di beberapa daerah di Indonesia gagal. Beberapa kelompok masyarakat beranggapan bahwa memiliki banyak anak, justru akan mendatangkan rezeki yang banyak pula. Akhirnya mereka tidak membatasi jumlah kelahiran anak-anaknya, tanpa mempertimbangkan masa depan anak-anak mereka, bagaimana pendidikannya kelak, bagaimana memberikan makanan bergizi bagi anak-anak mereka, tidak diperhitungkan. Jumlah anak yang banyak tanpa didukung oleh penghasilan yang besar, tidak akan menjamin masa depan yang cerah bagi anak-anak.

7. Childbirth and child-rearing practicies (Praktek kelahiran dan melahirkan)

Hal ini berhubungan dengan masalah pemilihan praktek persalinan, apakah menggunakan tenaga dukun, bidan, atau dokter. Atau apakah dilahirkan di rumah, di puskesmas, di rumah bersalin, atau di rumah sakit. Hal ini penting mengingat perlengkapan yang digunakan oleh tenaga-tenaga medis yang telah disebutkan tadi, berbeda-beda dalam membantu kelahiran bayi.

Juga terkai dengan masalah perawatan bayi dan anak-anak. Pemilihan asupan gizi untuk bayi dan anak-anak. Apakah memberikan ASI ekslusif pada bayi yang baru lahir hingga berumur satu tahun, atau justru memberikan susu kemasan yang sekarang ini banyak dipasarkan, seperti NUTRILON, SGM, dll. yang tentu saja kandungan gizi pada ASI berbeda dengan susu kemasan. Selain itu hal ini juga berhubungan dengan asupan gizi apa yang diberikan kepada balita, apakah bubur beras, pisang, sayuran, margarin/keju, atau bubur saring/nasi.

8. Body image alteration (Persepsi tentang tubuh ideal)

Adanya pendapat bahwa tubuh yang ideal adalah tubuh yang porsi berat badan seimbang dengan tinggi badan. Gemuk atau kurus dianggap tidak seimbang. Oleh karena itu baik laki-laki maupun perempuan menginginkan tubuh yang ideal melalui berbagai cara, di antaranya diet, sedot lemak, minum obat/jamu pelangsing, krim pelangsing perut, atau senam, tanpa menyesuaikan dengan kondisi badan. Mereka juga cenderung mengurangi porsi makan (tanpa mempertimbangkan nilai gizinya) demi untuk mendapatkan tubuh yang ideal. Baru-baru ini METRO TV pernah menayangkan suatu berita yang berasal dari para model di Prancis. Untuk menjadi model sebuah rumah mode tertentu di Prancis ditentukan berat badan ideal untuk para model tersebut, yang menurut ahli kesehatan dianggap sangat kurus. Demi tuntutan profesi, para model itu harus menyesuaikan berat badannya dengan aturan yang berlaku. Maka dari itu mereka berdiet, bahkan ada yang jauh sakit hingga meninggal karena menginginkan berat badan yang sudah menjadi ketentuan.

9. Diet (Makanan)

Dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, terkadang masyarakat awam tidak mempertimbangkan nilai gizi yang terkadung pada makanan yang dikonsumsi, yang utama adalah kenyang. Demikian pula bagi orang-orang yang sibuk dengan urusan kantor/bisnis, terkadang lebih mengutamakan urusan pekerjaan dibanding makanan, pun dalam hal memilih makanan biasanya memilih yang praktis/instant (cepat saji) yang tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pengolahannya, tanpa mempertimbangkan efek samping dari makanan instant tersebut. Apakah mengandung zat pengawet, zat kimia, formalin, atau zat lainnya yang berbahaya bagi tubuh.

10. Dress (Pakaian)

Di era modern seperti sekarang ini, mode atau gaya berpakaian menjadi sangat utama. Sementara kebersihan pakaian, atau kesesuaian pakaian dengan kondisi lingkungan tidak diperhitungkan. Yang dimaksud pakaian di sini adalah pakaian plus assesorisnya. Ada assesoris tertentu yang dapat menimbulkan alergi kulit bagi penggunanya, apabila dikenakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Seperti: stainless imitasi, perak, emas, dll. Selain itu, kebersihan pakaian juga penting untuk diperhatikan. Terkadang pakaian yang sulit untuk dicuci seperti jeans, biasanya dicuci setelah berulang-ulang kali dipakai. Juga dalam hal kebiasaan mengganti pakaian dalam. Ada yang mengganti dua kali sehari setelah mandi, ada bahkan yang menggantinya setelah beberapa hari. Hal tersebut dapat menimbulkan penyakit kelamin.

11. Personal higiene (Kesehatan personal)

Hal ini berkaitan dengan kebersihan individu, terutama terhadap kebiasaan sehari-hari, seperti: berapakali mandi dalam satu hari? Jam-jam berapa saja si individu membersihkan badan? Sabun apa yang digunakan? Apakah melakukan perawatan tubuh lainnya atau tidak? Seperti lulur, mandi sauna/SPA. Juga dalam hal kebersihan kamar, rumah, dan sekitarnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi munculnya penyakit-penyakit tertentu. Kesehatan personal juga berkitan dalam hal kebersihan seluruh badan, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di antaranya mengenai shampo apa yang digunakan untuk membersihkan rambut, apakah cocok dengan kulit kepala atau tidak. Juga yang berkenaan dengan alat dan bahan yang digunakan untuk kecantikan dan perawatan wajah/tubuh. Kesesuaian zat kimia yang terkandung dalam bahan tersebut apabila tidak cocok dengan kondisi wajah/tubuh akan dapat menimbulkan jerawat, alergi, atau penyakit kulit lainnya.

12. Housing arrangements (Keadaan Pemukiman)

Pemukiman penduduk ada yang berada dalam kompleks perumahan (BTN) , ada pula yang bukan kompleks perumahan (bukan BTN). Kompleks perumahan biasanya ditentukan tempat-tempat tertentu untuk pembuangan sampah, terkadang pula dilengkapi oleh fasilitas pengambilan sampah secara rutin dari dinas kebersihan setempat. Tetapi bagi rumah yang bukan kompleks biasanya tempat pembuangan sampahnya tidak tentu. Karena itu terkadang sampah menjadi masalah yang besar, terutama di kota besar.

Masalah ini juga berhubungan dengan kondisi rumah yang ditempati oleh individu atau keluarga. Apakah rumah tersebut telah memenuhi persyaratan kesehatan, seperti: sirkulasi udara cukup, mendapat cahaya matahari langsung ke dalam rumah. Atau juga mengenai jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Apakah rumah RSS yang dihuni oleh banyak orang, atau rumah berlantai dua yang hanya dihuni oleh satu atau dua orang saja. hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap kenyamanan tinggal di rumah tersebut, tetapi juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan si penghuni.

13. Sanitation arrangements (Kebersihan lingkungan)

Lokasi perumahan yang letaknya relatif dekat dengan TPA (tempat pembuangan sampah akhir) akan mudah terkontaminasi oleh sampah-sampah tersebut. Begitu pula dengan sistem pembuangan jambang (MCK) bagi warga sekitar. Penduduk yang hidup di perkotaan dengan penduduk yang tinggal di daerah pedesaan (khsusnya sekitar pantai atau sungai) memiliki kebiasaan berbeda dalam hal pembuangan sampah atau MCK. Masyarakat perkotaan umumnya menggunakan WC di rumah masing-masing. Sedangkan pada daerah sekitar laut atau sungai biasanya masyarakatnya tidak memiliki WC. Mereka lebih banyak melakukan pembuangan sampah atau MCK di sungai atau di laut. Kalaupun memiliki WC biasaya masih non-permanen atau bahkan menggunakan WC umum.

14. Occupations (Kesempatan kerja)

Jumlah pengangguran semakin hari semakin banyak, sementara jumlah tenaga kerja siap pakai masih sangat terbatas. Karena itu terkadang dalam memilih suatu pekerjaan/profesi individu tidak mempertimbangkan lagi aspek kesehatannya. Tenaga laboran misalnya, yang hampir setiap hari harus berkutat dengan zat-zat kimia, di mana zat-zat kimia tertentu berbahaya apabila terhirup atau tanpa disengaja masuk ke dalam tubuh manusia. Begitu pula dengan pekerja yang beraktivitas di bengkel dengan deru suara mesin yang sangat ribut, dapat mempengaruhi kondisi pendengaran para karyawannya. Selain itu, para pekerja bengkel yang menggunakan alat las tanpa menggunakan masker, dapat menganggu sistem panca indera penggunanya.

15. Economic situation (Status ekonomi)

Menurut data dari Bank Dunia tahun 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai prosentase 49 % dari seluruh masyarakatnya. Masyarakat yang dikategorikan miskin adalah biasanya bagi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara maksimal. Karena itu terkadang kebutuhan akan kesehatan juga menjadi halangan bagi mereka. Maka dari itu tidak jarang di masyarakat kita terdapat orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan asupan gizi yang cukup, seperti: busung lapang atau kekurangan gizi yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin. Sebaliknya, bagi golongan kaya untuk pemenuhan makanan mungkin cukup. Akan tetapi karena faktor lain (kesibukan misalnya) sehingga faktor gizi atau istirahat yang cukup kurang menjadi perhatian. Mengkonsumsi makanan berlemak atau mengandung kolesterol dengan porsi yang banyak tanpa diimbangi dengan olah-raga yang cukup dapat menimbulkan obesitas, kolesterol, tekanan darah tinggi, dll.

16. Religion (Agama dan sistem kepercayaan).

Pada agama-agama tertentu makanan digolongkan atas makanan yang ‘halal’ dan yang ‘haram’ karena itu dalam mengkonsumsi makanan biasanya para penganutnya mengikuti ajaran tersebut. Seperti pada umat Islam yang mengharamkan daging Babi, darah, atau bangkai, maka kemungkinan efek negatif yang ditimbulkan oleh mengkonsumsi daging Babi, darah, atau bangkai dapat dihindari. Sedangkan bagi umat non-Muslim yang memiliki tradisi/kebiasaan minum bir, anggur, atau tuak pada perayaan-perayaan tertentu, akan sulit menghindari efek negatif dari minuman tersebut.

17. Funerary customs (Adat pemakaman)

Adat pemakaman yang dimaksudkan di sini adalah tradisi atau kebiasaan yang banyak berkembang di sepanjang upacara pemakaman, dari setiap agama dan kepercayaan yang ada. Keragaman sistem religi itu juga memunculkan keragaman ritus pemakanan. Hal tersebut sedikit-banyak akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan si pelaksana ritus atau lingkungan sekitarnya. Misalnya kasus pengkremasian mayat pada pemeluk agama Nasrani. Di sini terutama yang berkenaan dengan peralatan, bahan, serta perlengkapan lainnya yang digunakan dalam pengkremasian tersebut. Siapa-siapa saja yang terlibat, bagaimana kondisi higienitas si pelaksana ritus tersebut. Demikian pula dengan lingkungan sekitar, di mana mana mayat tadi di simpan sebelum dimakamkan.

18. Culturogenic stress (Stress)

Bagi individu yang memiliki beban kerja yang sangat berat, dapat mengalami stress. Begitu pula bagi orang-orang yang mengalamai tekanan-tekanan hidup yang berat dapat mengalami depresi, frustrasi, atau bahkan gangguan jiwa. Karena itu manusia memerlukan istirahat, refreshing, atau rekreasi. Manusia juga membutuhkan kasih sayang dengan sesama. Dengan kata lain, selain kebutuhan lahiriah manusia juga memiliki kebutuhan batiniah, yang pemenuhannya memerlukan porsi-porsi tertentu untuk mencapai kualitas kesehatan yang memadai. Contoh kasus dapat dilihat pada keluarga yang tidak harmonis, kurang perhatian dari orang tua dapat mebuat anak-anak menjadi frustrasi.

19. Migrant Status (Status Kependudukan)

Status kependudukan yang dimaksudkan di sini adalah satus kependudukan seseorang (sekelompok orang) apakah penduduk lokal atau pendatang. Pendatang pada umumnya tidak mengalami kesulitan dalam hal beradaptasi dengan lingkungannya. Sedangkan bagi masyarakat pendatang biasanya adapatasi menjadi kendala yang berarti, baik adaptasi dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosialnya. Karena itu tidak jarang pula pendatang mengalamai tekanan-tekanan dalam hal perebutan pengelolaan sumber daya alam dengan penduduk asli. Contoh kasus dapat dilihat pada lokasi transmigrasi. Para transmigran yang tidak mampu beradaptasi dengan baik di lingkungannya yang baru, akan mengalami tekanan-tekanan mental. Apabila tekanan ini tidak dapat dibendung, maka transmigran biasanya akan memilih untuk kembali ke kota asalnya semula. Penduduk ali yang jumlahnya dominan dibandingkan dengan pendatang, biasanya juga meminggirkan segala kepentingan-kepentingan masyarakat pendatang. Hal ini dapat menimbulkan pertentangan atau konflik.

20. Use of ‘chemical conferters’ (Penggunaan obat-obatan)

Pengobatan yang banyak beredar akhir-akhir ini tidak hanya dapat diperoleh melalui pengobatan medis kedokteran, tetapi juga dapat melalui pengobatan alternatif dan pengobatan tradisional. Pengobatan alternatif di antaranya pijat refleksi, yang dapat menyembuhkan/meringankan penyakit-penyakit tertentu, seperti diabetes, jantung, saraf, atau bahkan kanker, melalui pengobatan yang ritun. Sementara itu pengobatan tradisional, di antaranya adalah dukun atau shaman yang dalam praktek pengobatannya biasanya menggunakan peralatan tradisonal seperti: pisau, batok kelapa, dupa, dll. Persoalan higienitas peralatan tersebut dapat berpengaruh bagi kesehatan si pasien. Selain itu jamu-jamuan, atau obat-obatan yang tersebar luas di pasaran saat ini, juga tidak dengan mudah dapat dikonsumsi, perlu dipertimbangkan efek samping apabila dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama.

21. Leisure persuits (hiburan dan rekreasi)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa beban kerja yang ditanggung oleh individu dapat memicu munculnya stress. Oleh karena itu, menghadapi beban kerja serta rutinitas sehar-hari perlu dibarengi dengan hiburan dan rekreasi. Memenuhi kebutuhan akan hiburan dan rekresi akan mengalihkan perhatian sejenak dari segala rutinitas sehari-hari, karena itu dapat mengurangi sress dan juga dapat menyegarkan kembali pikiran.

22. Domestic animals and birds (hewan peliharaan)

Hewan peliharaan yang dimaksudkan di sini adalah anjing, kucing, ikan, sebagai binatang peliharaan dan juga termasuk binatang ternak, yakni unggas, sapi, kambing/domba, kuda, babi, kerbau, dll. Yang menjadi tekanan dalam hal ini adalah posisi atau letak kandang binatang ternak tersebut, juga tempat tinggal binatang peliharaan tadi. Letak kandang ternak (unggas, misalnya) yang dekat dengan pemukiman dapat memudahkan penghuninya terkontaminasi oleh penyakit yang dimunculkan oleh ternak tersebut (flu burung, misalnya). Untuk masyarakat Eropa dan Amerika yang menganggap binatang peliharaan anjing atau kucing seperti layaknya manusia, maka biasanya mereka ditempatkan sekamar dengan pemiliknya. Pemeliharaannya pun demikian, gizi dan kesehatan binatang peliharaan juga mendapat perhatian tersendiri. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang masing menganggap ’jorok’ hewan tersebut, mereka ditempatkan pada kandang tersendiri.

23. Lay Therapies (pengobatan alternatif)

Hal ini juga telah disinggung sebelumnya bahwa pengobatan alternatif telah mendapat porsi tersendiri di dunia kesehatan. Pengobatan alternatif ini biasanya diperoleh dari warisan turun-temurun yang berasal dari leluhur suatu daerah tertentu. Di antaranya adalah obat-obatan dari Cina, Yoga yang berasal dari Afrika, dan ramuan-ramuan tertentu yang digunakan dalam pijat refleksi. Pengobatan alternatif ini selain dapat meringankan penyakit tertentu, juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh kualitas kesehatan yang lebih baik.