SELAMAT BERKUNJUNG DI BLOG "ANTHROPOS"........

Sabtu, 24 Juli 2010

Antropologi Kesehatan-1

EPIDEMIOLOGI DALAM STUDI
ANTROPOLOGI KESEHATAN

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tetang jumlah dan penyebaran (frekuensi dan distribusi) dari suatu penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Epidemiologi memegang peranan penting dalam dunia pendidikan kesehatan karena epidemiologi dipelajari guna mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai konsep, agen, lingkungan, serta faktor-faktor yang bisa menimbulkan penyakit, pencegahan, pengobatan, dan pemberantasan penyakit. Sedangkan Antropologi adalah studi tentang manusia dengan segala aspek kehidupannya (Koenjaraningrat, 1996). Salah satu dimensi dalam kehidupan manusia adalah kesehatan. Sementara itu salah satu bidang kajian dalam Antropologi adalah Antropologi Kesehatan. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa epidemiologi adalah studi tentang penyakit, sedangkan Antropologi kesehatan membahas tentang kesehatan manusia. Berbicara tentang kesehatan sedikit banyak tentu saja berkaitan dengan penyakit.
Namun demikian, Epidemiologi terutama dalam studi Antropologi Kesehatan lebih memfokuskan diri pada behavior (perilaku) dan pengaruh sosial-budaya dari suatu penyakit. Dengan demikian aspek medis dalam hal ini juga dipertimbangkan. Untuk itu, studi Epidemiologi dalam Antropologi Kesehatan juga membutuhkan data-data dan beberapa teori praktis dalam epidemiologi medis untuk mengkaji suatu penyakit. Oleh karena itu Epidemiologi dalam Antroplogi Kesehatan merupakan studi tentang persebaran dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berbagai jenis penyakit dalam kehidupan manusia. Fokusnya tidak hanya pada penyakit individual, tapi juga pada kelompok masyarakat.
Faktor-faktor yang umumnya berpengaruh terhadap kesehatan manusia di antaranya adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, kesempatan kerja, kondisi sosial-ekonomi, makanan, lingkungan (baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial), dan lain-lain. Faktor-faktor yang berpengarug ini dalam studi Epidemiologi dalam Antropologi Kesehatan disebut faktor-faktor sosial budaya. Menurut Helman* (1984:185) dalam studi Epidemiologi terdapat faktor-faktor budaya yang berpengaruh terhadap suatu penyakit, atau mempengaruhi kualitas kesehatan seseorang atau sekelompok orang. Faktor-faktor budaya tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain. Adapun faktor-faktor budaya tersebut di antaranya adalah struktur keluarga, kesetaraan gender, sistem kekerabatan, perilaku seksual, penggunaan alat-alat kontrasepsi, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya diuraikan dalam pembahasan berikut ini:
1. Family structure (struktur keluarga)
Struktur keluarga berhubungan dengan masalah interaksi dengan anggota keluarga lainnya, baik keluarga inti maupun keluarga luas. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, jika salah seorang dalam anggota keluarga mengidap suatu penyakit (misalnya: TBC) maka interaksi yang berulang-ulang dengan anggota keluarga lainnya dapat menyebabkan anggota keluarga yang lain akan tertular. Begitu pula dengan interaksi dengan anggota keluarga luas. Bagaimana bentuk interaksi dengan anggota keluarga yang lebih luas (paman-tante, kakek-nenek, sepupu, kemanakan, cucu, dst.) Salah satunya dalam hal perawatan anak, pendidikan anak, penyiapan makanan, pakaian, dan keperluar lainnya akan berpengaruh terhadap kesehatan anggota keluarga. Pemilihan lembaga pengobatan di saat anggota keluarga sedang sakit, bagaimana perawatan terhadap si sakit, kesemuanya ini berpengaruh terhadap munculnya suatu penyakit.
2. Gender roles (kesetaraan gender)
Masyarakat Indonesia yang masih primordial (masih memegang adat/tradisi leluhur) terkadang masih menerapkan pembagian status dan peran antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya dalam hal pembagian pekerjaan, laki-laki dituntut untuk mencari nafkah sedangkan perempuan ditugaskan untuk menjaga dan merawat anak-anak di rumah. Resiko penyakit terhadap kedua jenis kelamin ini berbeda, demikian pula dengan resiko penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh beban kerja yang berbeda. Misalnya: wanita yang selain berberan sebagai wanita karir juga sebagai ibu rumah tangga, kemungkinan beban kerja dan psikologis yang diembannya lebih banyak, hingga waktu istirahat berkurang, mudah lelah, dan mudah terkena anemia (Koblinsky dkk., 1997).
3. Marriage patterns (sistem kekerabatan)
Sistem kekerabatan yang dimaksudkan di sini adalah endogami (perkawinan dari dalam keluarga) atau eksogai (perkawinan dari luar keluarga). Sistem kekerabatan berpengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit. Di mana ada penyakit-penyakit tertentu yang diwariskan melalui gen. Perkawinan dengan anggota kerabat dekat dapat mempermudah penyebaran gen tersebut. Hal ini berbeda apabila memilih pasangan dari keluarga lain, kemungkinan resiko terkenanya penyakit keturunan akan lebih berkurang. Kecuali apabila dari keluarga lain pun mengidap penyakit keturunan tertentu. Perkawinan dengan kerabat dekat (sedarah) juga dapat melahirkan keturunan yang memiliki kelainan tertentu, atau penyakit-penyakit tertentu, seperti: keturunan yang cacat atau idiot, karena berasal dari keturunan yang masih sedarah.
4. Sexual behaviour (perilaku seksual)
Pada masyarakat Indonesia, hubungan seksual masih dianggap ”tabu” dan tidak permisif bagi pasangan yang belum menikah. Meskipun demikian kasus-kasus mengenai seks bebas semakin hari semakin merebak. Kencan, pemerkosaan, pelecehan, dan pelacuran yang menjadi bagian dari seks bebas telah menimbulkan penyakit seksual. Salah satunya yang paling berbahaya adalah penularan HIV/AIDS karena hingga saat ini belum ditemukan formula yang dapat membasmi penyakit ini. Selain itu sering pula muncul penyakit menular seksual (PMS) dan penyakit-penykit lainnya yang dapat tumbul karena hubungan seksual. Di kalangan remaja yang cenderung melakukan seks pra-nikah, terkadang melakukan aborsi atau pernikahan dini untuk menutupi aib. Aborsi dapat menimbulkan pendarahan hingga kematian jika tidak dilakukan secara benar, sedangkan pernikahan dini berpengaruh terhadap kondisi psikologis si anak (Dewi, 1998).
5. Contraceptive patterns (penggunaan alat-alat kontrasepsi) dan Population policy (kebijakan kependudukan)
Pemilihan alat kontrasepsi pada pasangan-pasangan tertentu, apakah menggunakan PIL KB, IUD, spiral, kondom, dan lain-lain akan berpengaruh besar terhadap kesehatan si pengguna alat kontrasepsi. Alat-alat tertentu cocok bagi seseorang, tetapi belum tentu cocok bagi orang lain. Terkadang muncul gangguan-gangguan kesehatan tertentu setelah menggunakan alat-alat kontrasepsi. Seperti kehamilan di luar kandungan. Penggunaan alat kontrasepsi juga menimbulkan efek samping yang tentu saja dapat berpengaruh bagi kesehatan.
Program keluarga berencana (KB) yang di masa orde baru sangat populer, kini jarang lagi terdengar. Demikian pula program-program yang berkaitan dengan KB saat ini juga kurang berjalan secara maksimal. Dulunya pembatasan kelahiran dapat dikendalikan, justru saat ini kurang mendapat perhatian. Akibatnya, pertumbuhan penduduk mulai tidak terkendali (Eschen & Whittaker, 1997). Persoalan kependudukan ini menjadi penting, mengingat tingkat kesejahteraan masyarakat indonesia tidak merata. Demikian pula dengan kemampuan memenuhi asupan gizi bagi keluarga di tiap-tiap golongan sosial berbeda-beda. Ada yang mampu memenuhi secara maksimal adapula yang sama sekali tidak mampu, karena jumlah anggota keluarga yang banyak sementara penghasiln sangat kurang. Maka dari itu tidak jarang ditemukan kasus-kasus kekurangan gizi, gizi buruk, dan busung lapar.
6. Childbirth and child-rearing practicies (praktek kelahiran dan melahirkan)
Hal ini berhubungan dengan masalah pemilihan praktek persalinan, apakah menggunakan tenaga medis tradisioal atau medis modern. Peralatan medis yag digunakan oleh kedua tenaga medis tersebut berbeda begitu pula metode-meode pelayanan persalinan & kualitas kesehatan yang dihasilkan. Hal ini juga terkait dengan masalah perawatan bayi dan balita. Pemenuhan asupan gizi untuk bayi dan balita, apakah bisa terpenuhi sesuai dengan standar kesehatan, apakah bayi & balita diberikan makanan tambahan, apakah bayi diberikan ASI ekslusif, atau justru diberikan susu kemasan, seperti NUTRILON, SGM, dll. Semuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kesehatan anak.
7. Body image alteration (persepsi tentang tubuh ideal)
Adanya pendapat bahwa tubuh yang ideal adalah tubuh dengan porsi berat badan yang seimbang dengan tinggi badan. Gemuk atau kurus dianggap tidak seimbang. Oleh karena itu baik laki-laki maupun perempuan menginginkan tubuh yang ideal melalui berbagai cara, di antaranya diet, sedot lemak, minum obat/jamu pelangsing, krim pelangsing perut, atau senam, tanpa menyesuaikan dengan kondisi badan. Mereka juga cenderung mengurangi porsi makan (tanpa mempertimbangkan nilai gizi) demi untuk mendapatkan tubuh yang ideal. Sebuah kasus pernh ditayangkan di televisi, yakni fenomena tubuh ideal yang terjadi pada para model di Prancis. Untuk menjadi model di sebuah rumah mode terkenal di Prancis, diperlukan berat badan yang ideal untuk para model tersebut. Ukuran berat badan ideal ini, menurut ahli kesehatan dianggap sangat kurus. Demi tuntutan profesi, para model itu harus menyesuaikan berat badannya dengan aturan yang berlaku. Para model dituntut untuk berdiet ketat, bahkan ada yang jatuh sakit hingga meninggal karena diet yang tidak sehat.
8. Diet and dress (makanan dan pakaian)
Hal ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan makanan. Dalam pemenuhan gizi makanan, masyarakat awam terkadang kurang mempertimbangkan nilai gizi yang terkadung pada makanan yang dikonsumsi. Demikian halnya dengan para profesional yang menghabiskan separuh waktunya untuk bekerja, terkadang lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan dengan memilih makanan yang sehata. Mereka cenderung memilih makanan yang praktis/instant/cepat saji, yang mana jenis makanan ini termasuk makanan dengan nilai gizinya yang kurang baik. Saat ini industri makanan juga mengalami perkembangan yang pesat. Maka muncullah makanan-makanan kemasan, baik dalam kemasan plastik, botol kaca, hingga pengalengan. Agar dapat berahan lama, makanan-makanan kemasan ini diberikan bahan pengawet yang belum tentu higienis. Zat pengawet yang terkandung dalam makanan tersebut, bisa empengaruhi kesehatan tubuh yang mengkonsumsinya.
Di era modern seperti sekarang ini, mode atau gaya berpakaian menjadi sangat penting. Seseorang dituntut untuk berpakaian yang baik untuk mendapatkan penampilan yang menarik, serasi, dan smart. Dalam memilih pakaian (termasuk assesorisnya) yang akan dikenakan, seseorang terkadang kurang memperhatikan aspek higienis atau kesesuaian pakaian dengan kondisi lingkungan. Ada beberapa jenis assesoris tertentu yang dapat menimbulkan alergi kulit bagi penggunanya, misalnya: stainless, perak, emas, yang berjenis imitasi. Selain itu, kebiasaan mengganti underwear dapat mencegah timbulnya penyakit kelamin. Demikian halnya dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang berkaitan dengan kebersihan berpakaian.
9. Personal higiene (kesehatan personal) dan housing arrangements (keadaan pemukiman)
Hal ini berkaitan dengan kebiasaan sepanjang hari yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya kebiasaan mandi, membersihkan rumah (kamar), mencuci pakaian, mencuci bahan mentah yang akan diolah menjadi makanan, membersihkan lingkungan sekitar rumah, dan lain-lain. Kesehatan personal juga berkitan dengan kebersihan seluruh tubuh, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di antaranya mengenai shampo atau jenis sabun yang digunakan untuk membersihkan rambut/tubuh, apakah cocok dengan jenis kulit atau tidak. Juga yang berkenaan dengan alat dan bahan yang digunakan untuk kecantikan dan perawatan wajah/tubuh. Kesesuaian zat kimia yang terkandung dalam bahan tersebut apabila tidak cocok dengan jenis kulit, akan dapat menimbulkan jerawat, alergi, atau penyakit kulit lainnya.
Pemukiman penduduk ada yang berada dalam kompleks perumahan dan ada pula yang bukan kompleks perumahan. Untuk kompleks perumahan biasanya ditentukan tempat-tempat tertentu untuk pembuangan sampah, terkadang pula dilengkapi dengan fasilitas pengambilan sampah secara rutin dari dinas kebersihan setempat. Tetapi bagi rumah yang bukan kompleks perubahan biasanya tempat pembuangan sampahnya tidak teratur. Oleh karena itu terkadang sampah menjadi masalah yang besar, terutama di kota-kota besar. Pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan bau yang kurang sedap dan memungkinkan berkembangnya kuman serta bakteri penyakit-penyakit tertentu. Masalah ini juga berhubungan dengan kondisi rumah yang dihuni oleh individu atau keluarga. Apakah rumah tersebut telah memenuhi persyaratan kesehatan, seperti: sirkulasi udara cukup, mendapat cahaya matahari langsung ke dalam rumah, dan lain-lain.
10. Sanitation arrangements (kebersihan lingkungan)
Lokasi perumahan yang letaknya relatif dekat dengan TPA (tempat pembuangan sampah terakhir) akan mudah terkontaminasi oleh sampah-sampah tersebut. Begitu pula dengan sistem pembuangan (MCK) bagi warga sekitar. Penduduk yang hidup di perkotaan dengan penduduk yang tinggal di daerah pedesaan (khsusnya sekitar pantai atau sungai) memiliki kebiasaan berbeda dalam hal pembuangan sampah atau MCK. Masyarakat perkotaan umumnya menggunakan WC di rumah masing-masing. Sedangkan penduduk di sekitar pantai atau sungai biasanya membuang sampah atau MCK di sekiTar pantai atau sungai.
11. Occupations (kesempatan kerja) dan leisure persuits (hiburan dan rekreasi)
Jumlah pengangguran semakin hari semakin bertambah, sementara kesempatan kerja menjadi semakin terbatas. Tenaga kerja terampil yang siap kerja masih sangat terbatas. Tuntutan hidup semakin banyak memungkinkan seseorang memilih pekerjaan/profesi tanpa mempertimbangkan aspek kesehatannya. Tenaga laboran misalnya, yang hampir setiap hari harus bergumul dengan zat-zat kimia di dalam laboratorium. Di mana zat-zat kimia tersebut dapat beresiko buruk bagi kesehatan apabila terhirup atau tanpa disengaja masuk ke dalam tubuh manusia. Demikian pula dengan pekerja mesin misalnya, yang setiap hari harus bekerja dengan alat-alat mekanik dengan deru suara mesin yang sangat kencang atau alat-alat mekanik yang memerlukan kehati-hatian dan ketelitian dalam penggunaannya agar tidak mencelakai si penggunanya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa beban kerja yang ditanggung oleh individu dapat memicu munculnya stress. Oleh karena itu, menghadapi beban kerja serta rutinitas sehari-hari perlu dibarengi dengan hiburan dan rekreasi. Memenuhi kebutuhan akan hiburan dan rekresi akan mengalihkan perhatian sejenak dari segala rutinitas sehari-hari, karena itu dapat mengurangi sress dan juga dapat menyegarkan kembali pikiran (Sehat Plus, 2006).
12. Economic situation (status ekonomi)
Berdasarkan status ekonomi, masyarakat Indonesia dikategorikan dalam dua golongan, yakni golongan kaya dan golongan miskin. Masyarakat yang dikategorikan miskin adalah individu yang dianggap kurang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara maksimal. Karena itu terkadang kebutuhan akan kesehatan juga menjadi halangan bagi mereka. Maka dari itu tidak jarang di masyarakat kita terdapat orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan asupan gizi yang cukup, seperti: busung lapar atau kekurangan gizi yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin. Sebaliknya, bagi masyarakat yang tergolong kaya, untuk pemenuhan kebutuhan lainnya sangat mencukupi. Akan tetapi karena faktor lain, kesibukan misalnya, faktor gizi atau istirahat yang cukup kurang menjadi perhatian. Beban kerja yang banyak serta mengkonsumsi makanan berlemak atau kolesterol, tanpa diimbangi istirahat dan olah raga yang cukup, dapat menimbulkan obesitas, kolesterol, tekanan darah tinggi, dan lain-lain (Femina, 2001).
13. Religion (agama atau sistem kepercayaan)
Pada agama-agama tertentu makanan digolongkan atas makanan yang ‘halal’ dan yang ‘haram’ karena itu dalam mengkonsumsi makanan biasanya para penganutnya mengikuti ajaran tersebut. Seperti pada umat Islam yang mengharamkan daging babi, darah, dan minuman keras, maka kemungkinan efek negatif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi daging Babi, darah, dan minuman keras dapat dihindari. Sedangkan bagi umat non-muslim yang memiliki tradisi/kebiasaan minum bir, anggur, atau tuak pada perayaan-perayaan tertentu, akan sulit menghindari efek negatif dari minuman tersebut.
14. Use of ‘chemical conferters’ (penggunaan obat-obatan)
Pengobatan yang banyak beredar akhir-akhir ini tidak hanya dapat diperoleh melalui pengobatan medis kedokteran, tetapi juga dapat melalui pengobatan alternatif dan pengobatan tradisional. Melalui pengobatan rutin, pengobatan alternatif dapat menyembuhkan/meringankan penyakit-penyakit tertentu, seperti diabetes, jantung, saraf, atau bahkan kanker. Sedangkan pengobatan tradisional, di antaranya adalah dukun atau shaman yang dalam praktek pengobatannya biasanya menggunakan peralatan tradisonal seperti: pisau, batok kelapa, dupa, air dan lain-lain. Persoalan higienitas peralatan tersebut dapat berpengaruh bagi kesehatan si pasien. Selain itu jamu-jamuan, atau obat-obatan yang tersebar luas di pasaran saat ini, juga tidak dengan mudah bisa dikonsumsi, perlu dipertimbangkan efek sampingnya agar dapat terhindar dari pengaruh buruk di masa mendatang.
15. Domestic animals and birds (hewan peliharaan)
Hewan peliharaan yang dimaksudkan di sini adalah anjing, kucing, ikan, sebagai binatang peliharaan dan juga termasuk binatang ternak, yakni unggas, sapi, kambing/domba, kuda, babi, kerbau, dan sebagainya. Yang menjadi tekanan dalam hal ini adalah posisi atau letak kandang binatang ternak tersebut, juga tempat tinggal binatang peliharaan tadi. Letak kandang ternak (unggas, misalnya) yang dekat dengan pemukiman dapat memudahkan penghuninya terkontaminasi oleh penyakit yang dimunculkan oleh ternak tersebut (flu burung, misalnya). Untuk masyarakat Eropa dan Amerika yang menganggap binatang peliharaan anjing atau kucing seperti layaknya manusia, maka biasanya binatang peliharaan ini dibiarkan begitu saja berkeliaran di dalam rumah. Bahkan dalam pemeliharaannya pun binatang-bintang tadi sangat diperhatikan gizi dan kesehatannya, agar resiko penyakit yang ditimbukan dapat dikurangi.
Dengan demikian studi Epidemiologi yang mengkaji tentang jumlah dan penyebaran penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, memberikn sumbangsih yang besar bagi studi Antropologi Kesehatan yang mengkaji kesehatan manusia. Terutama karena faktor-faktor budaya dalam epidemiologi berperan serta mengeksplorasi kasus-kasus penyakit tertentu. Adapun faktor-faktor budaya yang dimaksud adalah struktur keluarga, kesetaraan gender, sistem kekerabatan, dan lain-lain, seperti yang telah diurai di atas. Kesemuanya ini berpengaruh terhadap munculnya penyakit-penyakit tertentu pada diri individu ataupun kelompok individu. Dan tentu saja penyakit-penyakit yang ditimbulkan akan berpengaruh pula terhadap kualitas kesehatan manusia.

*Helman, Cecil, Culture, Health, and Illness, 1984, Bristol: Wright.