PENGANTAR TENTANG KEBUDAYAAN MATERIAL
MATERIALISME
Aliran materialisme dalam Antropologi mengakui kebudayaan material tidak hanya berupa benda tetapi juga sistem kognitif, aktivitas, sebagai akibat dari adanya suatu materi.
Aliran materialisme juga menganggap aspek mental sebagai sebuah kebudayaan material sebagai pengaruh dari adanya sebuah materi.
Contoh: sistem pengetahuan, kepercayaan manusia juga merupakan material, sebab terlahir dari adanya benda-benda material seperti buku, al-kitab, dll.
Aspek mental-psikologis yang terlahir dari interaksi antarperson dari sebuah objek material. Misalnya: HP (objek material) sebagai alat komunikasi, psikologis yang terjadi pada diri person yang menggunakan HP juga merupakan materi.
SIMBOL DAN MAKNA
Material adalah simbol. Simbol mengandung makna. Simbol terdapat pada sistem kognitif, aktivitas, artefak, dan mental manusia. Kesemuanya ini mengandung makna (meaning).
Analisis dalam Antropologi mencapai deep meaning: makna terdalam dari sebuah fenomena/peristiwa.
Sebuah peritiwa dengan peristiwa yang lain saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain, membentuk jaring-jaring makna dalam kehidupan manusia (kebudayaan oleh Clifford Geertz).
Simbol : ekonomi, pendidikan, religi, stratifikasi sosial, dan budaya.
Simbol ekonomi, misalnya berbelanja di Mall (PI Mall atau Mall Blok M), berbelanja di pasar swalayan atau pasar tradisional;
Simbol ekonomi, misalnya menggunakan angkutan umum atau mobil Opel Blazer, menggunakan jam tangan ROLEX asli atau imitasi.
Simbol pendidikan, misalnnya: pakaian serba terbuka, mini, transparan, merokok, gaya hidup tidak teratur (wanita ‘liar’/tidak berpendidikan) atau pakaian tertutup, sopan, menutup aurat, bersahaja, gaya hidup teratur (‘wanita terhormat’/berpendidikan).
Simbol pendidikan, bandingkan TEMPO atau Metro-TV (berpendidikan) dengan BOBO, Walt Disney (Kanak-kanak).
Simbol religi, misalnya: berpuasa di bulan Ramadhan, shalat lima waktu, berhaji (simbol ke-Islam-an) atau mengikuti kebaktian, berdoa di gereja, membaca al-kitab (simbol umat Nasrani).
Simbol religi, misalnya: mendirikan shalat, berpuasa, cermah agama di masjid (ulama) dengan mabuk-mabukan, berzina, berjudi (orang dzalim).
Stratifikasi Sosial, misalnya: menggunakan mobil dinas, tinggal di rumah jabatan, mendapatkan tunjangan struktural (atasan/pejabat) atau mengenakan seragam ‘satuan pengaman’, menjaga kantor hampir 24 jam, siap-siaga dengan keamanan (bawahan-satpam).
Stratifikasi sosial, misalnya: keluar-masuk kantor menggunakan BMW didampingi oleh asisten sambil membawa laptop (pengusaha) atau keluar-masuk kantor sambil membawa barang jualan senter kaca-mata sambil berjalan-kaki (sales).
Simbol budaya, misalnya: menggunakan dialek bahasa-bahasa tertetu menunjukkan asal daerah seseorang.
Simbol budaya, misalnya: mengkonsumsi sayur kelor (etnis kaili), pecel lele (orang Jawa), ceker ayam (orang Jawa) atau tidak (non-Jawa).
Simbol budaya juga tercermin biasanya pada pola pikir seseorang: kampungan atau modern.
Deep Meaning
Makna terdalam dari sebuah peristiwa. Apa yang tampak terlihat, tidak sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Misalnya: wanita berpendidikan (mantan preman yang insaf) >< wanita tidak berpendidikan (dari keluarga terpandang & berpendidikan).
Hal ini dapat diketahui melalui penelitian.
Ruang-ruang Dalam Kehidupan Manusia
Contoh kasus: ruang elektronik dan ruang jalanan dalam kehidupan manusia.
Ruang elektonik (electronic space) : di mana interaksi langsung sudah tidak menjadi begitu penting. Orang-orang saling beriteraksi melalui jaringan elektronika. Hampir segala kebutuhan dipenuhi melaui peralatan elektronika, misalnya: pesan makanan via telepon, berbelanja via internet, transaksi ATM, dll.
Ruang jalanan : dinamika yang terjadi di jalanan. Orang-orang ‘jalanan’, perilakunya, kebiasaannya, kebrutalannya, copet, dll.
Filosofi dari Sebuah Masyarakat
Dari pola pikir masyarakat, aktivitas yang berlangsung di dalamnya, dinamika sosial yang terjadi, tools (peralatan atau benda-benda) yang digunakan, mencerminkan filosofi sebuah masyarakat.
Kota Palu: perkembangan kota yang lambat, pola pikir yang ‘terbelakang’, Mall yang ada, suasana jalan raya, dll.
Kota Jakarta: macet, stratifikasi sosial yang sangat tajam, pola pikir yang maju, individualistis, dll.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.