PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI
Mengapa Pendidikan Kesehatan Reproduksi Perlu Diberikan?
Pendidikan kesehatan reproduksi selama ini banyak diberikan kapada anak-anak hanyalah dari pendidikan biologi di sekolah.
Hal ini didasari oleh adanya faham pada masyarakat Indonesia bahwa kesehatan reproduksi ( yang selanjutnya diistilahkan dengan seks) itu adalah ’tabu’ untuk dibicarakan secara vulgar. Dengan demikian orang tua pun memiliki keterbatasan dari membahas masalah seksualitas dengan anak-anaknya.
Sementara itu pendidikan seks sangat perlu untuk diberikan kepada anak-anak sedini mungkin, mengingat banyak pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh penyimpangan seks, di antaranya, kehamilan pra-nikah, aborsi, dan penularan HIV/AIDS.
Pendidikan seks yang diberikan kepada anak-anak dari bangku sekolah, kebanyakan hanyalah persoalan-persoalan reproduksi saja secara biologis tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya, psikologis, dan kesehatan yang mungkin ditimbulkannya.
Pendidikan seks menjadi penting mengingat banyaknya sumber-sumber informasi yang bertebaran di media, baik cetak maupun elektronik, yang begitu mudah diakses tetapi tidak memiliki sensor, mana informasi yang baik untuk diserap dan mana yang tidak.
Belum lagi adanya anggapan di kalangan remaja khususnya bahwa adanya ’trend’ (sesuatu yang dianggap sedang mengikuti perkembangan zaman) apabila meniru sesuatu seperti yang banyak disebarkan di media massa. Seperti misalnya gaya hidup selebritis, mode pakaian, make up, dlll.
Di samping itu, munculnya perubahan pada diri si anak memasuki usia remaja tidak hanya pada perubahan fisik tetapi juga perubahan psikologis.
- Perubahan fisik berupa perubahan bentuk tubuh (organ-organ kelamin), perubahan suara, menstruasi/mimpi basah), dan
- Perubahan psikologis berupa munculnya perasaan yang ‘lain’ (malu, jatuh cinta, senang, simpatik, cemburu) ketika bertemu atau berinteraksi dengan lawan jenis, ingin diperhatikan, mulai memunculkan citra diri, dll.
Perubahan dan pengaruh media seperti yang telah dikemukakan tadi mengakibatkan remaja menjadi generasi konsumtif (gemar berbelanja apa saja), generasi peniru (senang meniru ‘sang idola’).
Perbedaan Pandangan Remaja dengan Orang Tua Mengenai Pendidikan Seks
Bagi sebagian remaja pendidikan seks sangat penting, mengingat banyaknya sumber-sumber informasi di lingkungan sekitar, tetapi mereka tidak mampu menyerap dengan baik mana informasi negatif dan yang mana informasi positif, mereka memerlukan bimbingan orang tua dalam menyaring nformasi tersebut. Akan tetapi bagi banyak orang tua, informasi-informasi seksual belum saatnya diberikan kepada anak-anak, karena bila mereka tahu kemungkinan mereka akan mencoba. Di sini terlihat bahwa seksualitas anak dianggap “potensial bahaya”, karena itu diatur sedemikian rupa sehingga menjadi instrumen signifikan dalam pelembagaan heteroseksual sebagai norma. Bagi orang tua informasi seks adalah sesuatu yang dianggap berpotensi bahaya terhadap kehidupan si anak.
Perbedaan pandangan atara orang tua dengan ank mengenai masalah seksualitas ini menimbulkan perbedaan pula pada perilaku seksual mereka. Bagi orang tua seks hanya boleh dilakukan oleh orng-orang yang telah berkeluarga atau telah terikat pada hubungan suami-istri secara sah. Tetapi bagi remaja, hubungan seksual permisif dilakukan oleh pasangan-pasangan (pacaran) meskipun belum menikah, asalkan tidak sampai menimbulkan kehamilan.
Bagaimana Persoalan Normatif Melihat Hal Ini?
Dari sudut pandang normatif, baik aturan formal maupun non-formal di Indonesia, seks bagi yang bukan pasangan suami-istri sangat tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, diberlakukanlah sejumlah undang-undang atau peraturan (KUHP) yang mengatur masalah tersebut, di antaranya tentang pemerkosaan, pelacuran, dan seks bebas lainnya. Bukan hanya yang langsung mengarah ke persoalan seksualitas yang diatur tetapi juga pelanggaran-pelanggaran yang ditengarai berpotensi mengarah ke amsalah seks bebas juga diatur dalam perundang-undangan, seperti: minuman keras dan obat-obatan terlaranga. Selain itu, adapula sejumlah aturan-aturan non-formal, berupa berlakunya norma-norma agama dan norma-norma kesusilaan di masyarakat Indonesia. Mengingat sebagian besar warga Indonesia beragama Islam, maka seks bebas (dalam agama Islam diistilhkan dengan ’zina’) sangat diharamkan. Apabila dilakukan/didekati dianggap ’haram’ atau berdosa, sebaliknya jika ditinggalkan/dijauhi dianggap ’halal’ atau beramal. Demikian pula dengan agama-agama lainnya juga tidak permisif terhadap seks bebas. Pada norma sosial berlaku konsep ’susila’ dan ’asusila’. Susila atau kesusilaan adalah tindakan-tindakan yang dianggap sesuai atau memenuhi atura-aturan sosial, sedangkan asusila adalah tindakan-tindakan yang dianggap bertentangan/melanggar norma-norma sosial. Seks bebas, pelacuran, judi, minuman keras merupakan sejumlah tindakan yang dianggap ’asusila’. Akan tetapi tindakan yang dianggap asusila pada umumnya mengarah ke pelanggaran-pelanggaran seks. Dan apabila aturan-aturan tersebut dilanggar, maka bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Bagaimana Konsep Seksualitas Berkembang di Masyarakat?
Konsep ’seksualitas’ sesungguhnya berawal dari adanya perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Kedua jenis kelamin ini dianggap memiliki perbeaan yang sangat tajam, bukan hanya dari aspek biologis tetapi juga perilaku dan penampilan. Laki-laki dianggap sosok yang ’kuat, keras, dan pemimpin’. Sedangkan perempuan dianggap sebaliknya, sebagai sosok yang ’lembut, lemah, dan dipimpin’. Hal inilah yang akhirnya mengarah ke segala aspek kehidupan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Akhirnya, segala tindak-tanduk laki-laki dengan perempuan ’diatur’ dalam masyarakat. Perempuan memiki mode pakaian yang berbeda dengan laki-laki, demikian pula tugas dan pekerjaan mereka sehari-hari. Laki-laki dinggap sebagai pemimpin keluarga, wajib mencari nafkah bagi istri dan anak-anak, sementara perempuan hanya membantu di rumah mengurus anak dan menyiapkan sesgala sesuatunya untuk suami. Laki-laki memiliki tugas mengerjakan pekerjakan yang berat-berat dan memerlukan tenaga yang cukup besar, seperti memperbaiki genting yang bocor, membersihkan halaman, mengakat air, dll. sedangkan perempuan pekerjaannya lebih ringan seperti: mencuci, memasak, menyapu laintai, dll. dalam Antropologi ini diistilahkan dengan
Pada dasarnya dikotomi laki-laki dan perempuan, kuat atau lemah, yang berkembang pada masyarakat Indonesia (oleh Fathuri) dikatakan sebagai sesuatu yang dimunculkan oleh adanya definisi bentukan laki-laki yang selalu terbalik dengan perempuan, yaitu: laki-laki rasional perempuan emosional, laki-laki kuat perempuan lemah, laki-laki di ruang publik perempuan di ruang domestik, dan seterusnya.
Pemisahan peran dan tugas laki-laki dan perempuan seperti yang dikemukakan di atas, menunjukkan adanya struktur patriarkhi pada masyarakat Indonesia dalam melihat kekuasaan laki-laki atas perempuan. Hal ini diperjelas (oleh Abdullah) yang mengemukakan bahwa sejak kecil seorang anak perempuan telah diharuskan untuk mengatur tingkah-laku tubuhnya, berbeda dengan anak laki-laki. Produksi dan reproduksi posisi wanita sebagai “ibu rumah tangga” begitu intensif sehingga wanita menjadi pasif terhadap dunia luar rumah tangga. (Tampubolon dan Panggabean) juga berpendapat serupa bahwa perbedaan antara laki-laki dengan perempuan berakar pada perbedaan biologis di antara keduanya. Masyarakat mendidik anak laki-laki dengan anak perempuan berbeda karena mereka menginginkan agar kelak setelah dewasa, laki-laki dan perempuan memainkan peran yang berbeda. Pembagian tugas dan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan berpengaruh penting terhadap bagaimana anak laki-laki dan anak perempuan belajar bertingkah-laku.